Senin, 24 Juni 2013

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

Pembangunan Ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 telah memberi hasil positif terhadap perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja makronya. Tingkat pendapatan nasional per kapita meningkat dari rata-rata USD 50 pada tahun 1960 menjadi USD 1000 pada pertengahan 1990-an. Namun, dilihat dari sisi kualitas, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru ternyata telah menciptakan kesenjangan yang cukup besar, baik dalam distribusi pendapatan antarkelompok masyarakat maupun antardaerah/provinsi.

Ada sejumlah indikator untuk menganalisis kesenjangan pembangunan ekonomi antardaerah, diantaranya adalah : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per provinsi atau distribusi pembentukan PDB nasional PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga rata-rata per kapita, Indeks pembangunan manusia (IPM) Kontribusi sektoral terhadap pembentukan PDRB Tingkat kemiskinan

      Distribusi PDB Nasional Menurut Provinsi Distribusi PDB nasional menurut wilayah atau provinsi merupakan indikator utama di antara indikator lain yang umum digunakan untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu negara. PDRB yang relatif sama antarprovinsi memberi suatu indikasi bahwa distribusi PDB nasional relatif merata dan juga berarti kesenjangan ekonomi antarprovinsi relatif kecil. Untuk kasus Indonesia, berdasarkan data BPS untuk PDRB 27 provinsi menunjukkan bahwa sebagian besar PDB nasional berasal dari pula Jawa, khususnya Jawa Barat dan DKI Jakarta.

      Selama dekade 90-an kedua provinsi tsb. menyumbang lebih dari 60% thd pembentukan PDB Indonesia. DKI Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 5% dari total penduduk Indonesia, menikmati sekitar 15-16% dari PDB Nasional pada tahun 1996-1997.

PDRB Rata-rata per Kapita dan Tren Pertumbuhan

      Dalam perkembangannya, PDRB per kapita dari berbagai provinsi di Indonesia memiliki pola pertumbuhan yang berbeda. Ada tiga pengelompokan wilayah dengan pola pertumbuhan PDRB yaitu : Kelompok satu : tingkat PDRB per kapita rendah, namun tingkat pertumbuhannya tinggi (Kalbar, Jatim, Sumbar, Sumsel, DI Aceh, Sulut, dan NTB). Kelompok dua : PDRB per kapita rendah dan pertumbuhannya tinggi (DKI Jakarta, Kaltim, Kalteng, Kalsel, Bali, Riau, dan Sumut).

      Kelompok tiga : PDRB per kapita tinggi tetapi tingkat pertumbuhannya rendah (Irian Jaya). Kelompok empat : PDRB per kapita dan pertumbuhan rendah (selain dari provinsi yang termasuk kelompok satu s.d. tiga).
      Sejak tahun 1970-an hingga saat ini telah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antarprovinsi. Peneliti tersebut antara lain : Esmara (1975), Hughes dan Islam (1981), Uppal dan handoko (1988), Islam dan Khan (1986), hingga Booth (2000).

      Analisis ketimpangan salah satunya adalah ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat (IKB) dan Indonesia Kawasan Timur (IKT) dengan memakai Indeks Williamson atau Weighted Coefficient of Variation (WCV). Dimana : (Yi -SÖWCV = [ Y)2Ni/N]/Y, 0<WCV<1, dimana : Yi = pendapatan per kapita provinsi i; Y = pendapatan per kapita nasional, atau rata-rata PDRB per kapita untuk semua provinsi; Ni = jumlah penduduk di provinsi i; N = jumlah populasi nasional. 

      Nilai indeks WCV antara 0 – 1. Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut provinsi merata (atau variasi PDRB per kapita antarprovinsi sangat kecil), dan sebaliknya jika mendekati 1 berarti tingkat disparitas (ketimpangan) tinggi.

      Tadjoedin dkk (2001), menganalisis ketimpangan regional pada tingkat yang lebih disagregat dengan memakai data kabupaten/kota pada tahun 1996. Data yang ditemukan menunjukkan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita sangat tinggi yang menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong (enclave) yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas, atau SDA lainnya. Menurut Tadjoedin dkk., daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan sebagai data pencilan (out layers). Pada tahun 2001, Tadjoedin dkk. kembali melakukan melakukan penelitian, untuk menganalisis keberadaan dan peran dari out layers dalam bentuk pola ketimpangan regional,

      dilakukan dua langkah pemisahan data: Pertama, nilai migas bumi dikeluarkan dari PDRB semua kabupaten/kota, dan output-output pertambangan dikeluarkan dari PDRB kab. Fakfak. Setelah itu, angka PDRB per kapita diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar. Ternyata 13 kab./kota teratas memiliki PDRB per kapita yg sgt tinggi. Daerah-daerah ini yang memiliki kekhususan dlm hal karakteristik ekonomi yg digolongkan daerah kantong industri, perdagangan, dan jasa. Kedua, ke 13 kab/kota tersebut dikeluarkan dari analisis penelitian tsb.

      Berdasarkan hasil perhitungan Tadjoedin dkk (2001) menunjukkan bhw PDRB dari tujuh daerah pusat produksi migas yaitu Aceh, Kep. Riau dan Bengkalis (Riau), Kutai, Bulungan dan Balikpapan (Kaltim), dan Fakfak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas nasional. Tujuh daerah ini ditambah dengan 13 kab./kota yang memiliki PDRB sangat tinggi tersebut di atas, menghasilkan 19 daerah kantong, dikurangi Kutai (karena setelah dikurangi dengan pendapatan dari hasil migas termasuk di dalam dua kategori tersebut). Dari seluruh daerah kantong (19 daerah) dengan penduduk hanya sekitar 9% dari total populasi Indonesia, mereka menyumbang sekitar 33% dari PDB nasional.

Konsumsi Rumah Tangga Per Kapita Antarprovinsi

      pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita per provinsi merupakan salah satu indikator alternatif yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat kesejahteraan penduduk antarprovinsi. Hipotesisnya adalah : semakin tinggi pendapatan perkapita suatu daerah, semakin tinggi pengeluaran konsumsi per kapita di daerah tersebut. Dengan asumsi : sifat menabung masyarakat tidak berubah dan pangsa kredit di dalam pengeluaran konsumsi RT juga konstan.

      Berdasarkan hasil penelitian BPS, rata-rata pengeluaran konsumsi riil per kapita untuk tahun 1990 : Rp 555.000,00, 1996 : Rp 587.000,00 dan 1999 : Rp 579.000,00.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM)

      Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah indikator yang digunakan untuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan dengan kualitas dari hasil pembangunan ekonomi, yaitu derajat perkembangan manusia. IPM adalah suatu indeks komposisi yang didasarkan pada tiga indikator : a. kesehatan, b. pendidikan yang dicapai, dan c. standar kehidupan. Ketiga unsur tersebut saling memengaruhi selain juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti kesediaan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah.

   Hasil penelitian Tadjoedin dkk (2001) menemukan bahwa angka ketimpangan regional yang diukur dg IPM dan parameter-parameter kesejahteraan yang lain (kesehatan dan pendidikan) tidak sama dg angka ketimpangan berdsrkan PDRB per kapita. Pengukuran dengan Indeks L menunjukkan ketimpangan regional yang diukur dengan PDRB per kapita sekitar 92 kali lebih besar dibandingkan ketimpangan yang diukur dengan indikator sosial (IPM, pendidikan dan kesehatan).

      Menurut Tadjoedin (2001 : 20), rendahnya ketimpangan regional dalam hal kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antardaerah yang dijalankan pemerintah Orba, teutama melalui instrumen fiskal sepert transfer pusat, transfer antardaerah dan kebijakan lain terutama melalui berbagai skema inpres. 
      Menurut Tadjoedin (2001 : 20), rendahnya ketimpangan regional dalam hal kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antardaerah yang dijalankan pemerintah Orba, teutama melalui instrumen fiskal sepert transfer pusat, transfer antardaerah dan kebijakan lain terutama melalui berbagai skema inpres.

    Persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan juga merupakan alat untuk mengukur ketimpangan ekonomi antardaerah. Dilihat dari distribusinya, penduduk miskin sekitar 55% berada di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan kepadatan penduduk Jawa sangat tinggi, sehingga semakin sempit lahan pertanian atau lokasi untuk membangun industri atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Semakin kecil kesempatan kerja, pengangguran tinggi, sumber pendapatan semakin berkurang sehingga angka kemiskinan semakin tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar