Pembangunan
Ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 telah memberi hasil positif
terhadap perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi kinerja
makronya. Tingkat pendapatan nasional per kapita meningkat dari rata-rata USD
50 pada tahun 1960 menjadi USD 1000 pada pertengahan 1990-an. Namun, dilihat
dari sisi kualitas, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru
ternyata telah menciptakan kesenjangan yang cukup besar, baik dalam distribusi
pendapatan antarkelompok masyarakat maupun antardaerah/provinsi.
Ada sejumlah
indikator untuk menganalisis kesenjangan pembangunan ekonomi antardaerah,
diantaranya adalah : Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per provinsi atau
distribusi pembentukan PDB nasional PDRB atau pengeluaran konsumsi rumah tangga
rata-rata per kapita, Indeks pembangunan manusia (IPM) Kontribusi sektoral
terhadap pembentukan PDRB Tingkat kemiskinan
• Distribusi
PDB Nasional Menurut Provinsi Distribusi PDB nasional menurut wilayah atau
provinsi merupakan indikator utama di antara indikator lain yang umum digunakan
untuk mengukur derajat penyebaran dari hasil pembangunan ekonomi di suatu
negara. PDRB yang relatif sama antarprovinsi memberi suatu indikasi bahwa
distribusi PDB nasional relatif merata dan juga berarti kesenjangan ekonomi
antarprovinsi relatif kecil. Untuk kasus Indonesia, berdasarkan data BPS untuk
PDRB 27 provinsi menunjukkan bahwa sebagian besar PDB nasional berasal dari
pula Jawa, khususnya Jawa Barat dan DKI Jakarta.
• Selama
dekade 90-an kedua provinsi tsb. menyumbang lebih dari 60% thd pembentukan PDB
Indonesia. DKI Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar 5% dari total penduduk
Indonesia, menikmati sekitar 15-16% dari PDB Nasional pada tahun 1996-1997.
PDRB
Rata-rata per Kapita dan Tren Pertumbuhan
• Dalam
perkembangannya, PDRB per kapita dari berbagai provinsi di Indonesia memiliki
pola pertumbuhan yang berbeda. Ada tiga pengelompokan wilayah dengan pola
pertumbuhan PDRB yaitu : Kelompok satu : tingkat PDRB per kapita rendah, namun
tingkat pertumbuhannya tinggi (Kalbar, Jatim, Sumbar, Sumsel, DI Aceh, Sulut,
dan NTB). Kelompok dua : PDRB per kapita rendah dan pertumbuhannya tinggi (DKI
Jakarta, Kaltim, Kalteng, Kalsel, Bali, Riau, dan Sumut).
• Kelompok
tiga : PDRB per kapita tinggi tetapi tingkat pertumbuhannya rendah (Irian
Jaya). Kelompok empat : PDRB per kapita dan pertumbuhan rendah (selain dari
provinsi yang termasuk kelompok satu s.d. tiga).
• Sejak
tahun 1970-an hingga saat ini telah banyak penelitian dan pengkajian mengenai
pembangunan ekonomi regional yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi
antarprovinsi. Peneliti tersebut antara lain : Esmara (1975), Hughes dan Islam
(1981), Uppal dan handoko (1988), Islam dan Khan (1986), hingga Booth (2000).
• Analisis
ketimpangan salah satunya adalah ketimpangan antara Indonesia Kawasan Barat
(IKB) dan Indonesia Kawasan Timur (IKT) dengan memakai Indeks Williamson atau
Weighted Coefficient of Variation (WCV). Dimana : (Yi -SÖWCV = [
Y)2Ni/N]/Y, 0<WCV<1, dimana : Yi = pendapatan per kapita provinsi i; Y =
pendapatan per kapita nasional, atau rata-rata PDRB per kapita untuk semua
provinsi; Ni = jumlah penduduk di provinsi i; N = jumlah populasi
nasional.
• Nilai
indeks WCV antara 0 – 1. Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut
provinsi merata (atau variasi PDRB per kapita antarprovinsi sangat kecil), dan
sebaliknya jika mendekati 1 berarti tingkat disparitas (ketimpangan) tinggi.
• Tadjoedin
dkk (2001), menganalisis ketimpangan regional pada tingkat yang lebih
disagregat dengan memakai data kabupaten/kota pada tahun 1996. Data yang
ditemukan menunjukkan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per
kapita sangat tinggi yang menjadikan daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah
kantong (enclave) yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas, atau SDA
lainnya. Menurut Tadjoedin dkk., daerah-daerah kantong ini bisa ditempatkan
sebagai data pencilan (out layers). Pada tahun 2001, Tadjoedin dkk. kembali
melakukan melakukan penelitian, untuk menganalisis keberadaan dan peran dari
out layers dalam bentuk pola ketimpangan regional,
• dilakukan
dua langkah pemisahan data: Pertama, nilai migas bumi dikeluarkan dari PDRB
semua kabupaten/kota, dan output-output pertambangan dikeluarkan dari PDRB kab.
Fakfak. Setelah itu, angka PDRB per kapita diurutkan dari yang terkecil hingga
terbesar. Ternyata 13 kab./kota teratas memiliki PDRB per kapita yg sgt tinggi.
Daerah-daerah ini yang memiliki kekhususan dlm hal karakteristik ekonomi yg
digolongkan daerah kantong industri, perdagangan, dan jasa. Kedua, ke 13
kab/kota tersebut dikeluarkan dari analisis penelitian tsb.
• Berdasarkan
hasil perhitungan Tadjoedin dkk (2001) menunjukkan bhw PDRB dari tujuh daerah
pusat produksi migas yaitu Aceh, Kep. Riau dan Bengkalis (Riau), Kutai,
Bulungan dan Balikpapan (Kaltim), dan Fakfak (Papua) menguasai 72% dari PDB
migas nasional. Tujuh daerah ini ditambah dengan 13 kab./kota yang memiliki
PDRB sangat tinggi tersebut di atas, menghasilkan 19 daerah kantong, dikurangi
Kutai (karena setelah dikurangi dengan pendapatan dari hasil migas termasuk di
dalam dua kategori tersebut). Dari seluruh daerah kantong (19 daerah) dengan
penduduk hanya sekitar 9% dari total populasi Indonesia, mereka menyumbang
sekitar 33% dari PDB nasional.
Konsumsi
Rumah Tangga Per Kapita Antarprovinsi
• pengeluaran
konsumsi rumah tangga per kapita per provinsi merupakan salah satu indikator
alternatif yang dapat dijadikan ukuran untuk melihat perbedaan dalam tingkat
kesejahteraan penduduk antarprovinsi. Hipotesisnya adalah : semakin tinggi
pendapatan perkapita suatu daerah, semakin tinggi pengeluaran konsumsi per
kapita di daerah tersebut. Dengan asumsi : sifat menabung masyarakat tidak
berubah dan pangsa kredit di dalam pengeluaran konsumsi RT juga konstan.
• Berdasarkan
hasil penelitian BPS, rata-rata pengeluaran konsumsi riil per kapita untuk
tahun 1990 : Rp 555.000,00, 1996 : Rp 587.000,00 dan 1999 : Rp 579.000,00.
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
• Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah indikator
yang digunakan untuk mengukur salah satu aspek penting yang berkaitan dengan
kualitas dari hasil pembangunan ekonomi, yaitu derajat perkembangan manusia.
IPM adalah suatu indeks komposisi yang didasarkan pada tiga indikator : a.
kesehatan, b. pendidikan yang dicapai, dan c. standar kehidupan. Ketiga unsur
tersebut saling memengaruhi selain juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti
kesediaan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan kebijakan
pemerintah.
• Hasil
penelitian Tadjoedin dkk (2001) menemukan bahwa angka ketimpangan regional yang
diukur dg IPM dan parameter-parameter kesejahteraan yang lain (kesehatan dan
pendidikan) tidak sama dg angka ketimpangan berdsrkan PDRB per kapita.
Pengukuran dengan Indeks L menunjukkan ketimpangan regional yang diukur dengan
PDRB per kapita sekitar 92 kali lebih besar dibandingkan ketimpangan yang
diukur dengan indikator sosial (IPM, pendidikan dan kesehatan).
• Menurut
Tadjoedin (2001 : 20), rendahnya ketimpangan regional dalam hal kesejahteraan
masyarakat merupakan hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antardaerah
yang dijalankan pemerintah Orba, teutama melalui instrumen fiskal sepert
transfer pusat, transfer antardaerah dan kebijakan lain terutama melalui
berbagai skema inpres.
• Menurut Tadjoedin (2001 : 20), rendahnya
ketimpangan regional dalam hal kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari
kebijakan pemerataan pembangunan antardaerah yang dijalankan pemerintah Orba,
teutama melalui instrumen fiskal sepert transfer pusat, transfer antardaerah
dan kebijakan lain terutama melalui berbagai skema inpres.
• Persentase
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan juga merupakan alat untuk
mengukur ketimpangan ekonomi antardaerah. Dilihat dari distribusinya, penduduk
miskin sekitar 55% berada di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan kepadatan penduduk
Jawa sangat tinggi, sehingga semakin sempit lahan pertanian atau lokasi untuk
membangun industri atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Semakin
kecil kesempatan kerja, pengangguran tinggi, sumber pendapatan semakin
berkurang sehingga angka kemiskinan semakin tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar