Senin, 24 Juni 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI


Sumber-sumber Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari : Pertumbuhan sisi permintaan agregat (AD). Jika terjadi pertumbuhan, maka kurva AD bergeser ke kanan. Sisi AD terdiri dari : C, I, G dan ekspor netto (X - M). Atau Y = C + I + G + X-M jika Y meningkat maka permintaan agregat akan semakin besar.
Pertumbuhan dari sisi penawaran agregat (AS). Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh peningkatan volume dari faktor-faktor produksi yang digunakan. Pertumbuhan juga didorong oleh peningkatan produktivitas dari faktor-faktor tersebut.

Hubungan antara output dengan faktor produksi adalah : Q = f (X1, X2, X3, ….Xn) dimana, Q = volume output, dan X1, X2,…Xn = volume faktor-faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan output.

Faktor-faktor yang memengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, yaitu :
  1. Faktor Internal, yaitu :
 •      Faktor internal ekonomi : kondisi fundamental ekonomi seperti perkembangan inflasi, jumlah cadangan devisa, kondisi sektor perbankan, realisasi RAPBN, kebijakan ekonomi pemerintah di bidang fiskal dan moneter serta perkembangan ekspor nasional.
  •      Faktor internal nonekonomi : kondisi politik dan sosial, keamanan, dan hukum (berkaitan dengan kepastian hukum di bidang kegiatan bisnis dan pelaksanaan otonomi daerah) 
b.      Faktor eksternal : Prospek perekonomian dan perdagangan dunia, Kondisi politik global

Perubahan Struktur Ekonomi
Perubahan Struktur Ekonomi Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan PDB atau PN akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor-sektor nonprimer, khususnya industri manufaktur dengan increasing return to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas ) yang dinamis sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi (Weiss, 1988).

Ada kecendrungan (dapat dilihat sebagai suatu hipotesis) bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi yang membuat semakin tinggi pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi dengan asumsi faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi tersedia.

Menurut Kuznets, perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural. Didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi Aggregate Demand (AD) , perdagangan luar negeri (ekspor impor), Aggregate Supply (AS) atau produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (Chenery, 1979).

Transformasi struktural dapat dilihat pada perubahan pangsa Nilai Output (NO) atau Nilai Tambah Bruto (NTB) dari setiap sektor di dalam pembentukan PDB atau PNB atau PN. Berdasarkan hasil studi Chenery dan Syrquin, perubahan pangsa dalam periode jangka panjang menunjukkan suatu pola dimana kontribusi sektor primer semakin turun dan sektor sekunder dan tersier semakin meningkat.
Kontribusi output dari pertanian (sektor primer) terhadap pembentukan PDB mengecil, sedangkan pangsa PDB dari industri manufaktur dan jasa (sektor sekunder dan tersier) mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan PDB atau PN per kapita. Pangsa output sektoral thd PDB Tersier Sekunder Primer Waktu Perubahan Struktur Ekonomi

Indikator lain yang digunakan dalam studi-studi empiris untuk mengukur pola perubahan struktur ekonomi adalah : distribusi kesempatan kerja menurut sektor. Pada tingkat pendapatan rendah (tahap awal pembangunan ekonomi), sektor-sektor primer merupakan kontributor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tingkat pendapatan per kapita yang tinggi (tahap akhir) sektor-sektor sekunder terutama industri menjadi sangat penting dalam penyediaan kesempatan kerja.

Di dalam kelompok negara-negara sedang berkembang (Low Developing Countries (LDC’s), banyak negara yang juga mengalami transisi ekonomi yang pesat dalam 30 tahun terakhir, meskipun pola dan prosesnya berbeda antarnegara.

Variasi tersebut disebabkan oleh :
      Kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri (basis ekonomi). Jika suatu negara awalnya sudah memiliki basis industri dasar (mesin, baja, dsb.) yang relatif kuat, maka akan mengalami proses indutrialisasi yang lebih pesat/cepat dibandingkan negara yang hanya memiliki industri ringan (tekstil, pakaian, alas kaki, dsb.)
 
     Besarnya pangsa dalam negeri (kombinasi jumlah populasi dan tingkat pendapatan riil per kapita). Pola distribusi pendapatan. Jika pendapatan per kapita meningkat pesat namun tidak diiringi dengan distribusi yang relatif merata, maka kenaikan pendapatan tersebut tidak terlalu berarti bagi pertumbuhan industri-industri

      Karakteristik dari industrialisasi.
Misalnya cara pelaksanaan atau strategi pengembangan industri yang diterapkan, jenis industri yang diunggulkan, pola pembangunan industri, dan insentif yang diberikan bagi pelaku di bidang industri.

      Keberadaan SDA.
Ada kecenderungan bahwa negara yang kaya SDA justru mengalami pertumbuhan ekonomi lebih rendah atau terlambat melakukan industrlalisasi atau tidak berhasil melakukan diversifikasi ekonomi (perubahan struktur) dari pada negara miskin SDA.

      Kebijakan perdagangan luar negeri.
Negara yang menerapkan kebijakan ekonomi tertutup (inward looking), memiliki pola dan hasil industrilaisasi yang berbeda dibandingkan negara yang menerapkan kebijakan terbuka (outward looking). Banyak negara berkembang seperti Indonesia yang menerapakn kebijakan protektif terhadap sektor industrinya (kebijakan industri substitusi impor/ISI).

Namun, hasilnya adalah sektor industrinya berkembang tidak efisien dan memiliki tingkat diversifikasi rendah, khususnya lemah dalam kelompok industri tengah (hollow midle industry). Sehingga lebih tepat dikatakan menerapkan sistem produksi assembling. Kasus Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia. Orde Baru hingga sekarang dapat dikatakan terjadi perubahan struktur ekonomi cukup pesat. Data BPS : 1970 : NTB sektor pertanian : 45% thd PDB, tahun 1990 tinggal 16 – 20% thd PDB. Ini menunjukkan penurunan pangsa pertanian dalam pembentukan PDB.

KEMISKINAN DAN KESENJANGAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

1.    Permasalahan Pokok Masalah kesenjangan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan merupakan salah satu masalah di banyak negara berkembang (LDC’s). Kebijakan pembangunan ekonomi di Era Orde Baru yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa memperhatikan pemerataan hasil-hasil pembangunan telah membawa dampak jumlah kemiskinan yang masih relatif besar hingga saat ini. Trickle down effect (efek menetes) atau proses mengalir ke kalangan bawah dalam menikmati hasil-hasil pembangunan selama Orde Baru belum dapat dirasakan secara optimal.

2.      Konsep dan Definisi
 ð  Ada dua pengertian kemiskinan, yaitu :
a)      Kemiskinan Relatif, yaitu kemiskinan yang mengacu kepada garis kemiskinan. Menurut Kemiskinan ini, ukuran kemiskinan adalah kesenjangan dalam distribusi pendapatan.
b)      Kemiskinan Absolut, yaitu kemiskinan yang paling bawah, di mana kebutuhan-kebutuhan minimum tidak dapat terpenuhi. Kebutuhan minimum dalam bentuk kebutuhan kalori (makanan) ditambah nonmakanan yang sangat diperlukan untuk bertahan hidup.Kemiskinan absolut juga disebut dengan kemiskinan ek

3.      Pertumbuhan, Kesenjangan, dan Kemiskinan
 ð  Hubungan antara Pertumbuhan dan Kesenjangan :

             Hipotesis Kuznets. Hipotesis Kuznets timbul setelah dia melakukan penelitian di beberapa negara secara time series. Dari penelitian tersebut ditemukan hubungan kesenjangan pendapatan dan tingkat pendapatan per kapita dalam kurva yang berbentu huruf U terbalik. Kurva tersebut menggambarkan terjadinya evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses transisi dari ekonomi pedesaan (pertanian) ke ekonomi perkotaan (industri).

Pada awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi. Namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau akhir dari proses pembangunan, ketimpangan menurun, dimana pada saat sektor industri di perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar tenaga kerja yang dtg dr pedesaan (sektor pertanian) atau pada saat kontribusi sektor pertanian semakin kecil dalam produksi dan penciptaan lapangan kerja.

      Periode Hipotesis Kuznets tersebut tidak selamnya benar, karena berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan peneliti lain, ternyata tidak hanya faktor pertumbuhan ekonomi yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan. Faktor-faktor lain yang memengaruhi adalah tingkat pendidikan tenaga kerja, struktur produksi suatu negara. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Bourguignon & Morisson (1990) serta Papanek dan Kyn (1986).

ð  Hubungan antara Pertumbuhan dan Kemiskinan

      Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara pertumbuhan output agregat atau PDB atau PN maupun pertumbuhan output sektoral terhadap pengurangan jumlah orang miskin. Ravallion dan Datt (1996) di India : menemukan bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer (pertanian) jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan dibandingkan sektor-sektor sekunder. Kakwani (2001, Filipina) : peningkatan 1% output di sektor pertanian dapat mengurangi jumlah org yg hidup di bwh garis kemiskinan sedikit di atas 1%. Sedangkan % pertumbuhan yg sama di sektor industri dan jasa hanya mngakibatkan pengurangan kemiskinan 0,25 – 0.3%.

      Kakwani (2001, Filipina) : peningkatan 1% output di sektor pertanian dapat mengurangi jumlah org yg hidup di bwh garis kemiskinan sedikit di atas 1%. Sedangkan % pertumbuhan yg sama di sektor industri dan jasa hanya mngakibatkan pengurangan kemiskinan 0,25 – 0.3%.
       Hasan dan Quibra (2002), melakukan penelit di 45 negara Asia Timur & Sltn, Amerika Latin, Karibian, dan Afrika Sub-Sahara mengemukakan model utk mengukur relasi kemiskinan dan pertumbuhan sektoral :  Ln P = a + b1LnY1 + b2LY2 + b3LnY3 + u + R

      di mana : P = kemiskinan : suatu fraksi/bagian dari jml populasi dg pengeluaran konsumsi di bwh suatu tk pengeluaran min ttt yg telah ditetapkan sblmnya (grs kemiskinan) Y = tingkat ouput per kapita di tiga sektor (pertanian, industri pengolahan/manufaktur, dan jasa). u dan R = term kesalahan (standar error). Hasil penelitian tsb menunjukkan bahwa : terdapat korelasi negatif antara tingkat pendapatan dan kemiskinan. semakin tinggi tk pndptn /kapita, semakin rendah kemiskinan, atau negara-negara dengan tingkat PN per kapita yg lbh tinggi cenderung mempunyai tk kemiskinan yg lbh rendah dibandingkan negara-negara yg tk PN/kapitanya lebih rendah.

ð  Beberapa Indikator Kesenjangan dan Kemiskinan

Beberapa ukuran kemiskinan
      Beberapa ukuran kemiskinan : BPS : mengukur kemiskinan dengan menggunakan besarnya rupiah yang dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan bukan makanan. Untuk tahun 2004 batas miskin Rp 126.000,00 per kapita per bulan. Sayogyo dan Sam F. Poli : garis kemiskinan ekuivalen dengan konsumsi beras per kapita per tahun. Tahun 1994 : 240 kg/kapita untuk desa dan 360 kg/kapita untuk kota.

Bank Dunia : menggunakan standar dolar AS untuk konsumsi bagi penduduk. Batas miskin th 1980 : USD 75 (kota) dan USD 50 (desa). Garis kemiskinan utk wil desa maupun kota, dan regional maupun nasional selalu berubah disesuaikan dg kenaikan harga-harga (inflasi) dari barang kebutuhan pokok yg dikonsumsi masy.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar